Opini Inspiratif : PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DI ACEH
Sejak
abad ke-19 Islam telah menjadi bagian dari perkembangan peradaban masyarakat Aceh,
dasar-dasar seni budaya, adat istidat, pendidikan, sastra, serta pemerintahan
sangat lekat dengan ajaran Islam. Mengenai perkembangan pendidikan di Aceh, pada
abad ke-19 tidak menunjukkan perubahan yang berarti karena sistem pendidikannya
masih bersifat turun-temurun sejak abad ke-18. Ketika itu anak-anak yang telah
sampai umur sekolah dasar, mereka belajar dengan orang tua mereka dirumah atau
pada orang yang ahli ilmu agama Islam. Biasanya dilakukan pada malam hari di suatu
tempat seperti di Meunasah, atau
tempat musyawarah suatu Gampong.
Jika
seorang anak ingin melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah ada lembaga
pendidikan yang disebut Rangkang.
Lembaga ini didirikan hampir di tiap masjid. Sedangkan lembaga pendidikan yang
lebih tinggi lagi disebut Dayah. Di lembaga
ini banyak mencetak para alim ulama karismatik. Tak heran jika di abad di ini
banyak ulama yang terkenal seperti Tgk. Di Alue Keutapang, Tgk. Kadli, Tgk.
Leman dan masih banyak lagi.
Pada
massa penjajahan Belanda dimana pada masa itu pemerintahan dipegang penuh oleh
bangsa Belanda dibangunlah sekolah-sekolah di desa-desa agar masyarakat
diajarkan menulis, membaca huruf latin dan juga berhitung. Dengan demikian
pihak Belanda dapat mengalihkan rakyak agar tidak mengikuti seruan pemimpin
agama untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Sehingga Belanda leluasa
mengatur sistem pemerintahan yang mereka inginkan. Tetapi, hal itu tidak
berlangsung lama.
Jika
kita telusuri masa ke belakang untuk sejenak mengenang dan mengingat kembali
perjuangan rakyat Aceh melawan para penjajah yang tidak pernah gentar
mempertahankan tanah nanggroe serta
mempertahankan akhlak dan akidah nilai-nilai Islam. Maka tak heran lembaga
pendidikan Islam sangat berpengaruh dalam mencetak pejuang-pejuang rakyat Aceh
yang rela mati syahid demi tegaknya
kalimat tauhid di negeri Serambi Mekkah ini. Karena dalam hati mereka telah
terikat iman sebagai pegangan dunia akhirat. Disamping itu seni budaya yang
dimiliki oleh masyarakat Aceh kaya akan pesan moral, seni budaya dijadikan
media dakwah dalam mengajarkan nilai-nilai Islam, di setiap daerah yang ada di Aceh
memiliki kesenian masing-masing.
Perkembangan
zaman telah mengubah wajah negeri Serambi Mekkah. Ketika tsunami menyapu
sebagian pesisir Aceh bagai dentuman badai merenggut banyak jiwa, meluluh
lantakkan sebagian kehidupan masyarakat Aceh. Tetapi seiring berjalannya waktu
masyarakat Aceh mulai berbenah membuka kembali lembaran baru. Perubahan demi
perubahan mulai terasa dari tatanan kota, kehidupan sosial hingga pendidikan.
Dengan bantuan lokal maupun internasional. Namun perubahan yang terjadi tidak
semua berpengaruh positif, contoh adanya restoran yang menyajikan makanan cepat
saji ala bangsa barat. Mungkin saja pihak yang memberi bantuan itu melihat
peluang bisnis di Aceh. Dan itu sama sekali bukan budaya Aceh, tetapi hal itu
lambat laun menjadi suatu trend pada
masyarakat khususnya di daerah perkotaan. Bayangkan jika itu terjadi dalam
jangka waktu yang lama di masa yang akan datang, budaya kita budaya Aceh akan
terlupakan, digantikan oleh budaya barat yang serba instan tidak peduli dengan
hak orang lain mementingkan diri sendiri, bebas semaunya (liberalistis).
Padahal budaya kita budaya yang luhur, kental akan nilai-nilai agama Islam,
mematuhi syari’at yang berlaku, saling menghormati, menjaga dan menyayangi
sesama. Namun, sekarang tindakan syari’at jauh dari nilai kehidupan masyarakat
ini, sanksi-sanksi dan hukum tidak lagi melekat. Jika itu dilaksanakan maka
akan timbul pro-kontra bagi sebagian kalangan, contohnya hukuman cambuk bagi
pelaku perzinaan, dicambuk 100 kali. Tetapi, pada pelaksanaannya hanya
dilakukan 5 sampai 10 kali. Sebagian kalangan hukum cambuk 100 kali dianggap melanggar
hukum HAM, padahal faktanya Allah SWT sangat membenci dan melaknat orang yang
melakukan zina. Maka hukum cambuk diberikan agar pelakunya jera juga agar
orang-orang takut melakukannya karena hukumannya yang sangat berat. Dalam Islam
tidak ada hukum HAM karena setiap manusia telah ditetapkan qadar baik dan qadar
buruknya. Allah berfirman ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
kitab dengan benar, supaya kamu menghukum diantara manusia dengan (faham) yang
Allah beritahukan kepadamu,dan, janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang
khianat. Dan minta ampunlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha
Pengampun dan belas-kasih. Dan janganlah kamu membela orang-orang yang
mengkhianati dirinya itu, karena sesungguhnya Allah tidak suka berkhianat dan
berbuat dosa. Mereka bersembunyi (berlindung) kepada manusia, tetapi tidak mau
bersembunyi kepada Allah, padahal Dia selalu bersama mereka ketika mereka
mengatur siasatnya itu di waktu malam, yaitu sesuatu yang tidak diridhai dari
perkataan itu, dan Allah Maha meliputi semua apa yang mereka perbuat. Awaslah!
Kamu ini adalah orang-orang yang membela mereka di dalam kehidupan dunia ini
maka siapakah yang akan membela mereka dari hukuman Allah kelak di hari kiamat?
Atau siapakah yang akan mewakili untuk (menghadapi urusan) mereka
itu?”(An-Nisa’4:105-109)
Kita
dikenal sampai ke penjuru dunia karena budaya. Budayalah yang menjadi identitas
kita. Jika kita tidak menjaga budaya
kita itu artinya sama saja dengan kehilangan identitas kita. Maka sudah
seharusnya kita sebagai pemilik identitas itu menjaga dan melestarikan budaya
yang telah ditanamkan dari turun temurun. Peran pendidikan dapat menjadi salah
satu tempat untuk melestarikan kebudayaan. Dari usia dini atau sekolah dasar
anak-anak diajarkan mencintai budaya tempat ia di lahirkan agar tertanam rasa
memiliki dan rasa bangga pada budayanya sendiri, seperti budaya suku Aceh,
Gayo, Alas, Tamiang, Singkil, Aneuk Jamee dan lain sebagainya.
Pendidikan
adalah prioritas utama. Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Allah SWT juga
menyuruh umat-Nya untuk mencari ilmu tidak hanya ilmu dunia tapi juga ilmu
akhirat. Allah memberi derajat yang tinggi bagi orang yang berilmu. Jadi
sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran oleh Allah SWT dimanfaatkan untuk
mempelajari ciptaan-Nya. Pada dasarnya manusia diciptakan sama, tetapi imanlah
yang menjadi pembeda. Tetapi Allah memberikan kelebihan dan kekurangan yang
berbeda – beda tiap umat-Nya agar manusia bersyukur. Dari kelebihan dan
kekurangan itu manusia memiliki karakter yang berbeda-beda dan juga tingkat
berfikir yang berbeda-beda. Ada yang cepat menerima ilmu ada yang lambat, ada
yang mampu menguasai ilmu dengan otak kiri (sistematis, logika) ada juga yang
mampu menguasai ilmu dengan otak kanan (sosial, seni). Jadi manusia dapat
mengembangkan kemampuannya sesuai dengan bakat yang dia miliki.
Sistem
pendidikan yang efektif sangat diperlukan dalam mengembangkan kemampuan
seseorang agar ia dapat menguasainya dengan baik. Di Indonesia khususnya di Aceh
sistem pendidikannya masih mengikuti standar yang diberikan pemerintah pusat
yaitu pendidikan nasional yang berorientasi pada nilai serta tuntutan belajar
memaksa siswanya untuk bersaing dan dinilai kurang efektif mengingat rendahnya
kualitas pendidikan. Banyak siswa-siswi Indonesia yang frustasi apalagi dengan target
nilai nasional untuk mengukur seberapa besar tingkat kualitas pendidikan di setiap
daerah, padahal belum tentu negeri kepulauan ini memiliki kualitas pendidikan
yang sama dan tersebar merata di setiap daerah . Apalagi di setiap daerah
memliki tingkat ekonomi, pola pikir, dan taraf hidup yang berbeda. Meningkatnya jumlah pengangguran, kemiskinan,
kesejahteraan hidup dan problematika lainnya membuktikan sistem pendidikan
manusia masih rendah dibandingkan negara-negara lain. Padahal Indonesia,
khususnya Aceh merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alamnya, tetapi
dengan minimnya ahli dan sumber daya manusia (SDM) kekayaan alam yang dimiliki
tidak dapat diolah dan dilestarikan dengan baik.
Pemerintah
Provinsi Aceh memiliki wewenang untuk mengatur segala aspek yang berkaitan
dengan hukum dan tata pelaksana serta aturan. Sesuai dengan bunyi pasal (3)
Qanun No.5 Tahun 2008 yang menyebutkan “Aceh
adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat
istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang dipimpin oleh Gubernur”. Dengan Qanun ini, Provinsi Aceh dapat
mengatur segala peraturan guna melaksanakan kebijakan yang efektif. Sehingga
diharapkan agar pelaksanaan sistem pendidikan dapat berjalan baik. Namun juga
perlu diperhatikan qanun sistem pendidikan harus dibuat bijaksana dan besahabat
dengan pelajar agar tidak memberatkan siswa dalam kegiatan belajar. Bila perlu
sistem pendidikan diubah dari sistem pendidikan yang berpatok pada nilai standar
tinggi, monoton dan materi pembelajaran yang banyak ke sistem pendidikan yang dinamis, aplikatif,
dan berlandaskan syari’at Islam. Pada pasal 35 ayat (4) juga tercantum
pernyataan bahwa “Kurikulum
sekolah/madrasah pada semua jenis dan jenjang pendidikan dapat menambah muatan
lokal sesuai kebutuhan daerah”. Tetapi, penyelenggaraan Qanun ini belum
terlaksana dengan baik. Sebab masih banyak kita lihat terjadi penyimpangan
sosial dan penyimpangan agama pada pelajar, maraknya kasus narkoba, kekerasan
hingga tindakan asusila yang dapat merugikan banyak pihak mulai dari pelaku,
orang tua, guru, sekolah sampai dengan masyarakat setempat. Tentu kita tidak
mau hal ini terus terjadi, perlu adanya tindakan hukum yang tegas dan bijaksana
yang mampu menyelesaikan hal tersebut sampai ke akar- akarnya. Tak hanya itu
peran orang tua, guru dan masyarakat turut serta memegang peran penting dalam
pelaksanaan hukum tersebut.
Selain
hal di atas, sistem pendidikan juga perlu diberikan perlakuan khusus dengan
tidak memberikan beban yang memberatkan kepada pelajar misalnya pelajar
dituntut menguasai berbagai bidang ilmu dalam satuan dasar sampai menengah. Pelajar
harusnya diberi pendekatan psikologis
untuk membantu pelajar membangun karakter yang lebih baik. Sebab manusia bukan
robot yang mampu diberi perintah yang banyak dan berbeda-beda pada satu chip
(prosessor). Manusia mempunyai otak yang memiliki kapasitas otak yang terbatas tidak
mampu bekerja secara simultan. Sehingga perlu penyerapan sedikit demi sedikit
agar ilmu yang masuk dapat tersimpan dalam memori.
Pada
zaman peradaban Islam yang maju dimana ilmu pengetahuan digali dan dikembangkan
dengan berlandaskan Al-Qur’an dan hadist banyak tokoh-tokoh ilmuwan muslim
turut berjasa dalam lahirnya berbagai bidang ilmu baik di bidang sains,
politik, filsafat, kedokteran, ekonomi hingga ilmu astronomi. Tokoh-tokoh
tersebut diantaranya Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Rusyd,
Abu Musa Jabir bin Hayyan dan masih banyak lagi. Mereka adalah orang
berpendidikan yang tidak berorientasi pada nilai dan kompetisi, tetapi mereka
mencari ilmu dengan niat yang lurus, untuk kepentingan umat manusia dan
beribadah kepada Allah dengan berlandaskan Al – Qur’an dan Hadist.
Berabad-abad
Aceh telah mengikat syari’at Islam sebagai pondasi dasar untuk menjalankan
tatanan hidup dalam masyarakat. Maka seharusnya di setiap bidang memiliki dasar
yang sama untuk mengatur sistem pada setiap bidangnya yaitu Al-Qur’an dan
Hadist. Dalam Al-Qur’an dan Hadist telah diatur semua hal yang berkaitan dengan
kehidupan hingga akhirat. Islam tidak mengajarkan untuk berkompetitif,
mendiskriminasi, dan saling menjatuhkan.
Bahkan pada zaman kekhalifahan saat nama Ibnu Sina begitu populer di
Jazirah Arab hingga benua Eropa, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Pada
waktu itu sistem pendidikannya menganut sistem aqidah. Penyediaan sarana serta
fasilitas di tanggung oleh sistem khilafah. Tidak ada pungutan biaya karena
telah ada badan Baitul Mal dari zakat dan infaq yang menanggung segala
keperluan, sehingga semua orang bisa mendapat pendidikan tanpa batasan apapun.
Maka hal itu berdampak pada kesejahteraan hidup yang Islami. Terbukti
berjayanya peradaban Islam pada masa itu. Jika Aceh memiliki sistem demikian kemungkinan
akan lahir ilmuwan yang berwawasan Islam dengan landasan Al-Quran dan Hadist.
Bayangkan jika hal itu terjadi, Aceh akan menjadi daerah yang penuh dengan
nilai Islami, penyimpangan dapat diminimalisasikan, syari’at Islam dapat
terlaksana dengan baik.
Banda
Aceh, 9 Oktober 2015
Penulis
Lia
Yunita